Hadiah Terpenting Pada Anak
Saya
punya pengalaman,yaitu mantan siswa SMA(sebut saja namanyaLintang) yang
mana sekarang sudah menjadi mahasiswi mengeluh. Dari SD hingga lulus
SMA, Ia selalu juara. Namun kini, di program S-1, ia begitu kesulitan
menghadapi dosen yang meremehkan kemampuannya. Judul skripsinya selalu
ditolak tanpa alasan yang jelas. Kalau jadwal bertemu dibatalkan sepihak
oleh dosen hanya gara-gara sang dosen tersebut
mengambil rapor cucunya, ia sulit menerimanya. Asal tahu saja bahwa
Lintang ini dari kecil tidak pernah mendapatkan kesulitan sedikitpun,
orang tuanya senantiasa memanjakan dengan selalu memberi kemudahan
terhadap semua kebutuhannya. Maka walau sekarang Lintang sudah
mahasiswa, tidak bisa dan tidak berani naik sepeda motor. Ke sekolah
selalu diantar ibunya. Jangankan cuci baju dan setrika, bahkan makanpun
masih harus disuapin. Sementara itu, temantemannya sekarang yang cepat
selesai dikatakan, jago mencari celah dan kesempatan. Ia menduga,
teman-temannya yang tak sepintar dirinya itu bermain tidak adil dengan
dosen-dosennya. “Karena mereka tak sepintar aku,” ujarnya. Banyak orang
tua yang belum menyadari, di balik nilai-nilai tinggi yang dicapai
anak-anaknya semasa sekolah, mereka menyandang persoalan besar
kesombongan dan ketidakmampuan menghadapi kesulitan. Bila hal ini saja
tak bisa diatasi, maka masa depan ekonominya pun akan sulit. Mungkin
inilah yang perlu dilakukan orang tua dan kaum muda belajar menghadapi
realitas dunia orang dewasa, yaitu kesulitan dan rintangan. Psikolog
Stanford University, Carol Dweck, dalam buku The New Psychology of
Success, menulis, “Hadiah terpenting dan terindah dari orang tua pada
anak-anaknya adalah tantangan”. Ya, tantangan.
Apakah itu kesulitan-kesulitan hidup, rasa frustrasi dalam memecahkan masalah, sampai kegagalan “membuka pintu”, jatuh bangun di usia muda. Ini berbeda dengan pandangan banyak orang tua yang cepatcepat ingin mengambil masalah yang dihadapi anak-anaknya. Kesulitan belajar mereka biasanya diatasi dengan mendatangkan guru-guru les, atau bahkan menyuap sekolah dan guru-gurunya. Bahkan, tak sedikit pejabat atau orang kaya mengambil alih tanggung jawab anak-anaknya ketika menghadapi proses hokum karena kelalaian mereka di jalan raya. Sebagai orang dewasa kesalahan anak-anak memang membuat kita galau. Masalah mereka memang masalah kita juga, tapi bukan milik mereka. Termasuk di dalamnya adalah rasa bangga orang tua yang berlebihan ketika anak-anaknya mengalami kemudahan dalam belajar dibandingkan rekan-rekannya di sekolah. Berkebalikan dengan pujian yang dibanggabanggakan, Dweck malah menganjurkan orang tua untuk mengucapkan kalimat seperti ini: “Maafkan Ibu ya Nak, yang tidak membuat segala sesuatu menjadi mudah untukmu. Soal
ini kurang menarik, bagaimana kalau kita coba yang lebih menantang?” Jadi, dari kecil, saran Dweck, anak-anak harus dibiasakan dibesarkan dalam alam yang menantang, bukan asal gampang atau digampangkan. Pujian boleh untuk menyemangati, bukan membuatnya selalu mudah. Saya teringat masa-masa mudadan kanak-kanak saya yang hampir setiap saat menghadapi kesulitan dan tantangan. Kata seorang motivator sukses bahwa “saya ini termasuk bengal”. Namun ibu saya bilang, saya kreatif. Kakakkakak saya bilang saya bandel.
Namun, otak saya bilang “selalu ada jalan keluar dari setiap kesulitan”. Begitu memasuki dunia dewasa, seorang anak akan melihat dunia yang jauh berbeda dengan masa kanakkanak. Dunia orang dewasa, sejatinya, banyak keanehannya. Hal gampang bisa dibuat menjadi sulit. Namun, otak saya selalu ingin membalikkannya. Demikianlah, hal-hal sepele sering dibuat orang menjadi masalah besar. Banyak ilmuwan pintar, tetapi reaktif dan cepattersinggung. Demikian pula kalau orang sudah senang, apapun yang kita inginkan selalu bisa diberikan. Panggung orang dewasa dunia orang dewasa itu adalah sebuah panggung besar dengan unfair treatment yang menyakitkan bagi mereka yang dibesarkan dalam kemudahan dan alam yang protektif.
Kemudahan-kemudahan yang didapat pada usia muda akan hilang begitu seseorang tamat SMA. Di dunia kerja, keadaan yang lebih menyakitkan akan mungkin lebih banyak lagi ditemui. Fakta-fakta akan sangat mudah Anda temui bahwa tak semua orang, yang secara akademis hebat, mampu menjadi pejabat atau CEO. Jawabannya hanya satu, hidup seperti ini sungguh menantang. Tantangan-tantangan itu tak boleh membuat seseorang cepat menyerah atau secara defensif menyatakan para pemenang itu “bodoh”, tidak logis, tidak mengerti, dan lain sebagainya. Berkata bahwa hanya kitalah orang yang pintar, yang paling mengerti, hanyalah akan menunjukkan ketidakberdayaan kita belaka. Dan pernyataan ini hanya keluar dari orang pintar yang miskin perspektif, dan kurang menghadapi ujian yang sesungguhnya. Dalam banyak kesempatan, kita menyaksikan banyak orang-orang pintar menjadi tampak bodoh Karena ia memang bodoh mengelola kesulitan. Ia hanya pandai berkelit, bersungut-sungut karena kini tak ada lagi orang dewasa yang mengambil alih kesulitan yang ia hadapi.
Seorang dosen sekaligus motivator menceriterakan pengalamannya dalam membentuk mahasiswamahasiswinya agar berani menghadapi tantangan, dengan cara satu orang pergi ke satu negara tanpa ditemani satu orang pun agar berani menghadapi kesulitan, kesasar, ketinggalan pesawat, atau kehabisan uang. Namun lagi-lagi orang tuanya sering mengintervensi mereka
dengan mencarikan travel agent, memberikan paket tour, uang jajan dalam jumlah besar, menitipkan perjalanan pada teman di luar negeri, menyediakan penginapan yang aman, dan lain sebagainya. Padahal, anak-anak itu hanya butuh satu kesempatan yaitu bagaimana menghadapi kesulitan dengan caranya sendiri. Hidup yang indah adalah hidup dalam alam sebenarnya, yaitu alam yang penuh tantangan. Dan inilah esensi perekonomian abad ke-21 bergejolak, ketidakpastian, dan membuat manusia menghadapi ambiguitas.
Namun, dalam kondisi seperti itulah sesungguhnya manusia berpikir. Dan ketika kita berpikir keras dan kreatif, maka tampaklah pintu-pintu baru itu terbuka, saat pintu-pintu hafalan kita tutup. Jadi inilah yang mengakibatkan banyak sekali orang pintar sulit dalam menghadapi masalah. Maka dari itu, pesan Carol Dweck, dari apa yang saya renungi, sebenarnya sederhana saja orang tua, jangan cepatcepat merampas kesulitan yang dihadapi anak-anakmu. Sebaliknya, berilah mereka kesempatan untuk menghadapi tantangan dan kesulitan. Ketika anak-anak kita bersekolah dan sedang kegiatan kemah atau outbound maka biarkan mereka mendapatkan tantangannya sebagai bagian dari pembelajarannya.
Jangànlah dikit-dikit tengok, dikit-dikit ditelepon, selalu ditanya keadaannya, dan sebagainya. Yang dengan demikian mereka akan menjadi lemah, manja, dan tidak mampu menyelesaikan tantangannya. Hingga ketika dewasa hanya akan menjadi pecundang. Sekali lagi menjadi orang tua yang bijak memang tidak mudah tetapi harus dapat diusahakan demi kesuksesan anak-anak kita. Marilah kita bekali anakanak kita dengan kecerdasan adversity yaitu kecerdasan anak untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Di samping kecerdasan-kecerdasan yang lain, maka sesungguhnya kecerdasa ini justru memiliki kontribusi yang sangat besar dalam penyiapan kesuksesan masa depan anak-anak kita.
Apakah itu kesulitan-kesulitan hidup, rasa frustrasi dalam memecahkan masalah, sampai kegagalan “membuka pintu”, jatuh bangun di usia muda. Ini berbeda dengan pandangan banyak orang tua yang cepatcepat ingin mengambil masalah yang dihadapi anak-anaknya. Kesulitan belajar mereka biasanya diatasi dengan mendatangkan guru-guru les, atau bahkan menyuap sekolah dan guru-gurunya. Bahkan, tak sedikit pejabat atau orang kaya mengambil alih tanggung jawab anak-anaknya ketika menghadapi proses hokum karena kelalaian mereka di jalan raya. Sebagai orang dewasa kesalahan anak-anak memang membuat kita galau. Masalah mereka memang masalah kita juga, tapi bukan milik mereka. Termasuk di dalamnya adalah rasa bangga orang tua yang berlebihan ketika anak-anaknya mengalami kemudahan dalam belajar dibandingkan rekan-rekannya di sekolah. Berkebalikan dengan pujian yang dibanggabanggakan, Dweck malah menganjurkan orang tua untuk mengucapkan kalimat seperti ini: “Maafkan Ibu ya Nak, yang tidak membuat segala sesuatu menjadi mudah untukmu. Soal
ini kurang menarik, bagaimana kalau kita coba yang lebih menantang?” Jadi, dari kecil, saran Dweck, anak-anak harus dibiasakan dibesarkan dalam alam yang menantang, bukan asal gampang atau digampangkan. Pujian boleh untuk menyemangati, bukan membuatnya selalu mudah. Saya teringat masa-masa mudadan kanak-kanak saya yang hampir setiap saat menghadapi kesulitan dan tantangan. Kata seorang motivator sukses bahwa “saya ini termasuk bengal”. Namun ibu saya bilang, saya kreatif. Kakakkakak saya bilang saya bandel.
Namun, otak saya bilang “selalu ada jalan keluar dari setiap kesulitan”. Begitu memasuki dunia dewasa, seorang anak akan melihat dunia yang jauh berbeda dengan masa kanakkanak. Dunia orang dewasa, sejatinya, banyak keanehannya. Hal gampang bisa dibuat menjadi sulit. Namun, otak saya selalu ingin membalikkannya. Demikianlah, hal-hal sepele sering dibuat orang menjadi masalah besar. Banyak ilmuwan pintar, tetapi reaktif dan cepattersinggung. Demikian pula kalau orang sudah senang, apapun yang kita inginkan selalu bisa diberikan. Panggung orang dewasa dunia orang dewasa itu adalah sebuah panggung besar dengan unfair treatment yang menyakitkan bagi mereka yang dibesarkan dalam kemudahan dan alam yang protektif.
Kemudahan-kemudahan yang didapat pada usia muda akan hilang begitu seseorang tamat SMA. Di dunia kerja, keadaan yang lebih menyakitkan akan mungkin lebih banyak lagi ditemui. Fakta-fakta akan sangat mudah Anda temui bahwa tak semua orang, yang secara akademis hebat, mampu menjadi pejabat atau CEO. Jawabannya hanya satu, hidup seperti ini sungguh menantang. Tantangan-tantangan itu tak boleh membuat seseorang cepat menyerah atau secara defensif menyatakan para pemenang itu “bodoh”, tidak logis, tidak mengerti, dan lain sebagainya. Berkata bahwa hanya kitalah orang yang pintar, yang paling mengerti, hanyalah akan menunjukkan ketidakberdayaan kita belaka. Dan pernyataan ini hanya keluar dari orang pintar yang miskin perspektif, dan kurang menghadapi ujian yang sesungguhnya. Dalam banyak kesempatan, kita menyaksikan banyak orang-orang pintar menjadi tampak bodoh Karena ia memang bodoh mengelola kesulitan. Ia hanya pandai berkelit, bersungut-sungut karena kini tak ada lagi orang dewasa yang mengambil alih kesulitan yang ia hadapi.
Seorang dosen sekaligus motivator menceriterakan pengalamannya dalam membentuk mahasiswamahasiswinya agar berani menghadapi tantangan, dengan cara satu orang pergi ke satu negara tanpa ditemani satu orang pun agar berani menghadapi kesulitan, kesasar, ketinggalan pesawat, atau kehabisan uang. Namun lagi-lagi orang tuanya sering mengintervensi mereka
dengan mencarikan travel agent, memberikan paket tour, uang jajan dalam jumlah besar, menitipkan perjalanan pada teman di luar negeri, menyediakan penginapan yang aman, dan lain sebagainya. Padahal, anak-anak itu hanya butuh satu kesempatan yaitu bagaimana menghadapi kesulitan dengan caranya sendiri. Hidup yang indah adalah hidup dalam alam sebenarnya, yaitu alam yang penuh tantangan. Dan inilah esensi perekonomian abad ke-21 bergejolak, ketidakpastian, dan membuat manusia menghadapi ambiguitas.
Namun, dalam kondisi seperti itulah sesungguhnya manusia berpikir. Dan ketika kita berpikir keras dan kreatif, maka tampaklah pintu-pintu baru itu terbuka, saat pintu-pintu hafalan kita tutup. Jadi inilah yang mengakibatkan banyak sekali orang pintar sulit dalam menghadapi masalah. Maka dari itu, pesan Carol Dweck, dari apa yang saya renungi, sebenarnya sederhana saja orang tua, jangan cepatcepat merampas kesulitan yang dihadapi anak-anakmu. Sebaliknya, berilah mereka kesempatan untuk menghadapi tantangan dan kesulitan. Ketika anak-anak kita bersekolah dan sedang kegiatan kemah atau outbound maka biarkan mereka mendapatkan tantangannya sebagai bagian dari pembelajarannya.
Jangànlah dikit-dikit tengok, dikit-dikit ditelepon, selalu ditanya keadaannya, dan sebagainya. Yang dengan demikian mereka akan menjadi lemah, manja, dan tidak mampu menyelesaikan tantangannya. Hingga ketika dewasa hanya akan menjadi pecundang. Sekali lagi menjadi orang tua yang bijak memang tidak mudah tetapi harus dapat diusahakan demi kesuksesan anak-anak kita. Marilah kita bekali anakanak kita dengan kecerdasan adversity yaitu kecerdasan anak untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. Di samping kecerdasan-kecerdasan yang lain, maka sesungguhnya kecerdasa ini justru memiliki kontribusi yang sangat besar dalam penyiapan kesuksesan masa depan anak-anak kita.
Comments
Post a Comment